Sudahkah Kita Menjadi Pancasialis?
(Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)
Tentu kita tahu, Pancasila merupakan dasar negara bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila merupakan prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap elemen di negeri ini. Dan dengan berbagai konflik yang berkecamuk di tengah-tengah kita seharusnya dikembalikan kepada Pancasila, apakah kita sudah menggunakannya atau belum. Jika Pancasila telah selesai (semua masyarakat mengaplikasikannya), maka dipastikan tujuan Baladil amin tidak sesulit sekarang ini. Kata Cak Nun, Pancasila diibaratkan suatu cincin pernikahan. Ialah simbol ikatan suci antara suami dan istri. Dalam hal ini, Negara adalah suaminya dan bangsa sebagai istrinya. Dalam memandang suatu isu atau konflik kita terlalu fokus pada pertengkaran suami dan istri. Padahal jika melihat di tengah-tengah mereka terdapat ikatan istimewa, rumah tangga akan tetap harmonis dan romantis.
Dalam diskusi yang diadakan oleh “Nyekar Pustaka” bersama literasi-literasi di Indramayu pada sabtu malam, 3 Agustus 2019 di desa Tambi, kediaman literasi Gembira, membahas sila ke dua Pancasila, yakni Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.
Pada sila ke dua Pancasila dilambangkan dengan Rantai yang melambangkan setiap manusia laki-laki dan perempuan membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti Rantai. Selain itu, sila ke dua juga dasar hubungan social dan budaya antara semua masyarakat Indonesia. Nilai utama dalam “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” ini adalah pengakuan hak asasi manusia, menjadi manusia yang memanusiakan manusia, memperlakukan manusia secara adil dan disertai tata krama dan etika yang luhur. Adapun aktualisasi sila kedua dapat kita lihat berdasarkan ketetapan MPR No.II/MPR/1978 sebagai berikut.
Tentu kita tahu, Pancasila merupakan dasar negara bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila merupakan prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap elemen di negeri ini. Dan dengan berbagai konflik yang berkecamuk di tengah-tengah kita seharusnya dikembalikan kepada Pancasila, apakah kita sudah menggunakannya atau belum. Jika Pancasila telah selesai (semua masyarakat mengaplikasikannya), maka dipastikan tujuan Baladil amin tidak sesulit sekarang ini. Kata Cak Nun, Pancasila diibaratkan suatu cincin pernikahan. Ialah simbol ikatan suci antara suami dan istri. Dalam hal ini, Negara adalah suaminya dan bangsa sebagai istrinya. Dalam memandang suatu isu atau konflik kita terlalu fokus pada pertengkaran suami dan istri. Padahal jika melihat di tengah-tengah mereka terdapat ikatan istimewa, rumah tangga akan tetap harmonis dan romantis.
Dalam diskusi yang diadakan oleh “Nyekar Pustaka” bersama literasi-literasi di Indramayu pada sabtu malam, 3 Agustus 2019 di desa Tambi, kediaman literasi Gembira, membahas sila ke dua Pancasila, yakni Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.
Pada sila ke dua Pancasila dilambangkan dengan Rantai yang melambangkan setiap manusia laki-laki dan perempuan membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti Rantai. Selain itu, sila ke dua juga dasar hubungan social dan budaya antara semua masyarakat Indonesia. Nilai utama dalam “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” ini adalah pengakuan hak asasi manusia, menjadi manusia yang memanusiakan manusia, memperlakukan manusia secara adil dan disertai tata krama dan etika yang luhur. Adapun aktualisasi sila kedua dapat kita lihat berdasarkan ketetapan MPR No.II/MPR/1978 sebagai berikut.
- Mengakui dan memperlakukan manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan
suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial,
warna kulit dan sebagainya.
- Mengembangkan sikap saling mencintai
sesama manusila.
- tidak semena-mena terhadap orang
lain.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan
keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikengembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Dari butir-butir di
atas, harapannya kita mampu mengimplementasikannya dan tidak terpaku pada
delapan makna itu. Kita dilahirkan sudah diberi akal, alnghkah bijaknya jika
kita mengguankannya dengan sebaik mungkin, dan sebebas mungkin.
Pancasila
untuk siapa?
Pertanyaan ini tentunya tidak asbun, mengapa audien diskusi mempertanyakan demikian? Memang bahwa Pancasila sekarang ini bisa disebut paradoksial. Pancasila dalam sila ke lima tertera “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jelas baik pemerintah maupun rakyat biasa sejatinya adalah rakyat Indonesia, bangsa Indonesia. Tetapi pada praktisinya konsep keadilan tidak berjalan dengan semestinya. Seolah-olah keadilan bisa ditukar dengan harta dan jabatan. Paradoks dalam hal ini ialah Pancasila dengan konsep keadilannya seperti berjalan dengan mulus, namun nyatanya sangat jauh dari keadilan. Pancasila hanya untuk orang-orang tertentu, itu yang terjadi.
Pancasila untuk siapa? Jawaban yang seharusnya ya untuk seluruh manusia Indonesia.
Pertanyaan ini tentunya tidak asbun, mengapa audien diskusi mempertanyakan demikian? Memang bahwa Pancasila sekarang ini bisa disebut paradoksial. Pancasila dalam sila ke lima tertera “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jelas baik pemerintah maupun rakyat biasa sejatinya adalah rakyat Indonesia, bangsa Indonesia. Tetapi pada praktisinya konsep keadilan tidak berjalan dengan semestinya. Seolah-olah keadilan bisa ditukar dengan harta dan jabatan. Paradoks dalam hal ini ialah Pancasila dengan konsep keadilannya seperti berjalan dengan mulus, namun nyatanya sangat jauh dari keadilan. Pancasila hanya untuk orang-orang tertentu, itu yang terjadi.
Pancasila untuk siapa? Jawaban yang seharusnya ya untuk seluruh manusia Indonesia.
Seperti apa kemanusiaan itu?
Sebagai organisme yang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta berupa akal, manusia pastinya dapat memilih suatu tindakan atau apapun dari segi keuntungan dan kerugian, baik dan buruk. Manusia sebagai subjek, predikat dan objek haruslah mampu menempatkan posisi tersebut dengan akalnya sesuai dengan kebutuhan. Manusia haruslah mampu memanusiakan manusia sebagai manusia seutuhnya dan berperikemanusiaan terhadap seluruh alam. Ini juga menjadi cikal bakal sila ke tiga yaitu “Persatuan Indonesia”. Dengan bermodalkan kemanusiaan, memandang semua dengan pandangan manusia cukup rasanya mencapai Indonesia bersatu nan damai, tanpa diskriminasi, tawuran, radikalisme-ekstrimisme, ujaran kebencian dan sebagainya.
Sebagai organisme yang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta berupa akal, manusia pastinya dapat memilih suatu tindakan atau apapun dari segi keuntungan dan kerugian, baik dan buruk. Manusia sebagai subjek, predikat dan objek haruslah mampu menempatkan posisi tersebut dengan akalnya sesuai dengan kebutuhan. Manusia haruslah mampu memanusiakan manusia sebagai manusia seutuhnya dan berperikemanusiaan terhadap seluruh alam. Ini juga menjadi cikal bakal sila ke tiga yaitu “Persatuan Indonesia”. Dengan bermodalkan kemanusiaan, memandang semua dengan pandangan manusia cukup rasanya mencapai Indonesia bersatu nan damai, tanpa diskriminasi, tawuran, radikalisme-ekstrimisme, ujaran kebencian dan sebagainya.
Bagaimana dengan adil?
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau menguatkan yang lemah tanpa melemahkan yang kuat, atau adil bukan sama rata, tetapi disesuaikan dengan porsinya masing-masing atau juga bisa didefinisikan dengan berpihak kepada yang benar dan defenisi-definisi adil yang lainnya dari referensi yang berbeda. Mendefinisikan adil tidak akan cukup dengan hanya satu referensi. Maka perlu diadakannya diskusi-diskusi tentang keadilan.
Membahas tentang adil atau keadilan memang tak pernah habisnya di negeri ini. Bermacam ketidakadilan kian merata, dari ujung daun sampai ke akar-akarnya. Mayoritas ketidakadilan disebabkan dua fanatik yang berlebihan. Pertama fanatik terhadap agama dan yang lainnya fanatik terhadap ekonomi. Kedua penyakit ini seakan membutakan pandangan seseorang. Berbagai polemik ketidakadilan belum juga menemukan titik terang seperti ketidakadilan hukuman atau sanksi, gender, hak-hak dan lainnya.
Untuk mangaktualisasikan sila ke dua sebenarnya kembali pada diri masing-masing. Semisal dimulai dengan berlaku adil, baik sejak dalam pikiran maupun perbuatan, seperti berpikiran bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan berikut dengan perlakuan terhadapnya, tidak membeda-bedakan orang lain dari golongan, agama, adat, ras, warna kulit, jenis kelamin dan ekonomi, memberi sesuai dengan haknya dan mengerjakan kewajiban. Dan pertanyaannya sudahkah kita melakukan itu semua?
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau menguatkan yang lemah tanpa melemahkan yang kuat, atau adil bukan sama rata, tetapi disesuaikan dengan porsinya masing-masing atau juga bisa didefinisikan dengan berpihak kepada yang benar dan defenisi-definisi adil yang lainnya dari referensi yang berbeda. Mendefinisikan adil tidak akan cukup dengan hanya satu referensi. Maka perlu diadakannya diskusi-diskusi tentang keadilan.
Membahas tentang adil atau keadilan memang tak pernah habisnya di negeri ini. Bermacam ketidakadilan kian merata, dari ujung daun sampai ke akar-akarnya. Mayoritas ketidakadilan disebabkan dua fanatik yang berlebihan. Pertama fanatik terhadap agama dan yang lainnya fanatik terhadap ekonomi. Kedua penyakit ini seakan membutakan pandangan seseorang. Berbagai polemik ketidakadilan belum juga menemukan titik terang seperti ketidakadilan hukuman atau sanksi, gender, hak-hak dan lainnya.
Untuk mangaktualisasikan sila ke dua sebenarnya kembali pada diri masing-masing. Semisal dimulai dengan berlaku adil, baik sejak dalam pikiran maupun perbuatan, seperti berpikiran bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan berikut dengan perlakuan terhadapnya, tidak membeda-bedakan orang lain dari golongan, agama, adat, ras, warna kulit, jenis kelamin dan ekonomi, memberi sesuai dengan haknya dan mengerjakan kewajiban. Dan pertanyaannya sudahkah kita melakukan itu semua?
Menjadi
Pribadi Yang Beradab
Jika telah selesai dengan menjadi menusia yang
memanusiakan manusia secara adil, selanjutnya kita beranjak kepada taraf
beradab. Beradab dalam sila ke dua ini tidak terlepas dari adil. Artinya
keadilan dalam beberapa hal dapat dinegosiasi dengan adab dan budi pekerti.
Selain itu, beradab juga salah satu perilaku yang dapat mencegah terjadinya
sikap saling tuduh, sikap benci, dendam, hingga permusuhan.
Pancasila dibuat berdasarkan adat dan budaya pribadi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sejatinya memiliki karakter yang jarang dimiliki oleh bangsa lain, seperti murah senyum, sopan santun, ramah, gotong royong, saling membantu antar sesame dsb. Tetapi jika melihat kondisi karakter kita sekarang sedikit atau lebih keras dari sebelumnya bisa jadi mereka melupakan pedoman mereka.
Poin penting yang harus ditanamkan oleh bangsa Indonesia pada diskusi kemarin adalah “Jadilah manusia yang berperikemanusiaan terhadap seluruh alam. dan manusia Indonesia yang mampu memanusiakan manusia sebagai manusia atas persamaan makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara adil, tidak memihak pada satu kelompok saja dan memiliki akhlak, adab, sopan-santun, ramah dan budi perkerti yang luhur.
Pancasila dibuat berdasarkan adat dan budaya pribadi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sejatinya memiliki karakter yang jarang dimiliki oleh bangsa lain, seperti murah senyum, sopan santun, ramah, gotong royong, saling membantu antar sesame dsb. Tetapi jika melihat kondisi karakter kita sekarang sedikit atau lebih keras dari sebelumnya bisa jadi mereka melupakan pedoman mereka.
Poin penting yang harus ditanamkan oleh bangsa Indonesia pada diskusi kemarin adalah “Jadilah manusia yang berperikemanusiaan terhadap seluruh alam. dan manusia Indonesia yang mampu memanusiakan manusia sebagai manusia atas persamaan makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara adil, tidak memihak pada satu kelompok saja dan memiliki akhlak, adab, sopan-santun, ramah dan budi perkerti yang luhur.
Semoga kita semua dapat mengamalkan butir-butir Pancasila dan menjadi Pancasilais yang sesungguhnya, tidak hanya pamer foto profil di media sosial “Aku Indonesia, Aku Pancasila” pada 1 Juni. Kita Indonesia, Kita Pancasila.
Komentar
Posting Komentar