Tulisan ini hasil yang penulis dapat ketika mengikuti
Diskusi Bedah Buku Telembuk. Sabtu 6 Juli 2019 di eks pasar Jatibarang depan
Setasiun Kereta Api Jatibarang.
Diskusi yang dimoderatori oleh Andi Wikono dan sebagai
pemateri Suryana Hafidin diselenggarakan oleh pegiat Literasi Jatibarang dan di
hadiri oleh JALIN (Jaringan Literasi indramayu). Balada Emperan Pustaka Jatibarang, Pohon Literasi Junti Kebon,
Aliansi Pelajar Jatibarang, Gembira (Gerakan Tambi Raya), Pustaka Kampung
Merdeka, Dermayu Ora Meneng, Saung Sastra, Street Art, dan peserta diskusi lainnya.
Novel Telembuk ditulis oleh Kedung Darma Romansa yang
diterbitkan oleh Indie Book Corner tahun 2017 dengan Tebal 414 halaman. Novel
Telembuk adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya yang termasuk dalam
dwilogi Kelir Slindet. Menceritakan tentang dunia Prostitusi, dangdut dan
segala kisah cintanya.
Novel Telembuk mengisahkan perjalanan Hidup Safitri yang
menjadi Telembuk. Telembuk adalah sebutan Orang Indramayu bagi Pekerja Seks Komersial
(PSK) dan memang Novel Telembuk selain
penulisnya berasal dari Indramayu, kisah didalamnya pun sangat kental dengan
wajah Indramayu yang di cap sebagai kota PSK. Safitri yang merupakan tokoh
utama dalam novel Telembuk diceritakan menghilang dalam keadaan hamil karena
diperkosa. Ia meninggalkan desanya dan kemudian bertemu dengan Mak Dayem,
seorang Germo yang kemudian menjadikan Safitri sebagai Telembuk dan memberinya
wejangan-wejangan pengalaris sehingga Safitri menjadi Telembuk nomer satu
ditempatnya.
Setelah membaca novel Telembuk Suryana Hafidin menyampaikan
bahwa legitimasi-legitimasi dan perspektif yang menstereotip dan
mendiskriminasi perempuan tidak berhak bagi siapapun. Kita tidak berhak
menghakimi tanpa mencari tahu latar belakang pertanyaannya “mengapa harus jadi
telembuk?”. Jangan menyalahkan jika belum bisa membenarkan!
“Aku seperti terdesak dengan keadaan. tak tahu harus
berbuat apa, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja sebagai telembuk. Mudah dan
ringan rasanya aku memutuskan menjadi telembuk. Sebab apalagi yang harus aku banggakan
dalam diriku. Toh tak ada yang merasa dirugikan atas keputusanku ini.” Safitiri
(Romansha, 2017: 142)
Perkataan safitri tersebut yang kemudian banyak dibahas
dalam diskusi. Faktor apa saja yang kemudian menjadi pilihan seorang perempuan
untuk menjajakan dirinya ? mengapa sampai saat ini prostitusi masih marak
dikota-kota bahkan disetiap desa ada ? bagaimana cara mengurangi atau bahkan
menumpasnya ?
Hasbi yang sudah 10 tahunan terjun dalam memberikan
edukasi-edukasi terkait HIV Aids menerangkan bahwa Telembuk itu ada tiga.
Pertama terjual. Artinya, menjadi
telembuk karena Trafficking misalnya. Kedua menjual diri karena faktor ekonomi dan lingkungan.
Yang ketiga yang paling parah adalah karena kemauan sendiri malah ada yang
karena hobi. Yang pertama dan kedua masih bisa dicegah kalau yang ketiga
rasanya sulit untuk mencegahnya kalau bukan mendapat Hidayah dari Tuhan.
Pemerintah mencoba mencegahnya dengan menggusur
tempat-tempat prostitusi tapi selalu saja tempat-tempat baru muncul kembali
bahkan lebih banyak ibarat mati satu tumbuh seribu. Langkah ini memang tidak
efisisen. Setelah digusur dan karena kurangnya keahlian dalam dirinya
(telembuk) dan kurangnya lapangan kerja ia kembali lagi kekehidupan malamnya.
harus dikaji lagi lebih dalam terkait pencegahannya. Karena dalam banyak kasus
terkait PSK. Penggusuran atau penggrebegan yang tersorot itu hanya telembuknya
saja. Kenapa para konsumen atau bahkan germonya terlewat ? ada yang memberi
jawaban bahwa kenapa Germonya tidak ikut diciduk? Karena agar kemudian menebus
telembuk yang terciduk tersebut.
Pencegahan lain bisa dilakukan mulai dari diri kita dengan
tidak ikut menjadi konsumen, dan untuk lebih luasnya melakukan mediasi langsung ke tempat
prostitusinya dengan membuat kegiatan-kegiatan yang positif seperti yang
dilakukan Gus Miftah seorang ulama asal Yogyakarta, kalau terlalu sulit
cegahlah generasi-generasi penerus agar tidak terjerumus kedalamnya. Salah
satunya dengan meggiatkan kegiatan-kegiatan literasi dan edukasi untuk anak-anak atau pemuda. Atau
dengan mendekati langsung daerang yang memang terkenal akan prostitusinya
seperti yang di lakukan oleh komunitas Sahabat Bocah Kita yang mencoba dekat
denga anak-anak sekitar tempat Prostitusi bahkan sampai anak-anak PSKnya dengan
melakukan kegiatan mengaji di daerah tersebut sebulan sekali. Meskipun masih
sebulan sekali karena memang kesibukan penggeraknya tapi sudah lumayan memberi
warna baru bagi daerah tersebut dan bagi anak-anaknya yang memang sudah faham tentang
prostitusi bahkan merek-merek minumanpun hafal.
“perlu diketahui bahwa tahun 2018. HIV Aids di Indramayu
sudah 3000 lebih kasus. Bahkan setiap bulan bertambah, rata-rata perbulan itu 4
orang” Tegas Hasbi.
Jangan mencaci kalau tidak bisa memberi solusi, mari
memahami manusia tanpa menghakiminya.
Komentar
Posting Komentar